a. 
Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena 
kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh
 awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern.
 Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan 
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan 
perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “Demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,
 dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan 
sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai 
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi
 menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
 menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
 perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara 
sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan rakyat) atas 
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi 
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) 
untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas 
(independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. 
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan 
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling 
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 
memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam 
mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR 
dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara
 hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui 
mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat 
mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama 
kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian 
Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem 
pemerintahan.
Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang 
diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali 
masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta 
militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia 
terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi 
Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
b. Musyawarah
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada 
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
 berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau 
dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga 
berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada 
dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna 
dasarnya.
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara 
yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang 
dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis, 
bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan 
pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat 
diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang 
dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan.
Musyawarah atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna 
menciptakan peraturan di dalam masyarakat mana pun. Setiap negara maju 
yang menginginkan keamanan, ketentraman, kebahagiaan dan kesuksesan bagi
 rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah ini. Tidak aneh jika Islam
 sangat memperhatikan dasar musyawarah ini.
Islam menamakan salah satu surat Al-Qur’an dengan Asy-Syura, di dalamnya
 dibicarakan tentang sifat-sifat kaum mukminin, antara lain, bahwa 
kehidupan mereka itu berdasarkan atas musyawarah, bahkan segala urusan 
mereka diputuskan berdasarkan musyawarah di antara mereka. Sesuatu hal 
yang menunjukkan betapa pentingnya musyawarah adalah, bahwa ayat tentang
 musyawarah itu dihubungkan dengan kewajiban shalat dan menjauhi 
perbuatan keji.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura 42: 37-38 : “Dan 
(bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan
 apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang 
menerima (mematuhi) seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang 
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka 
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Dalam ayat di atas, syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi 
masyarakat Islam dituturkan sesudah iman dan shalat. Menurut Taufiq 
asy-Syawi, hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai 
martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus memberikan 
pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang 
tingkatannya sama dengan shalat dan zakat. Maka masyarakat yang 
mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah 
satu ibadah.
‘Abdul Karīm Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah adalah hak ummat dan 
kewajiban imam atau pemimpin. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang 
memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah dengan para 
sahabat.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut 
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, 
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu 
ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah
 dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
 tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai 
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran 3: 159)
Ayat di atas turun dalam konteks Perang Uhud, di mana pasukan Islam 
nyaris mengalami kehancuran gara-gara pasukan pemanah yang ditempatkan 
Nabi di atas bukit
tidak disiplin menjaga posnya. Akibatnya posisi strategis itu dikuasai 
musuh dan dari sana mereka balik menyerang pasukan Islam. Namun demikian
 Nabi tetap bersikap lemah-lembut dan tidak bersikap kasar kepada 
mereka.
Sebenarnya sebelum perang Uhud Nabi sudah bermusyawarah terlebih dahulu 
dengan para sahabat tentang bagaimana menghadapi musuh yang akan datang 
menyerang dari Mekkah, apakah ditunggu di dalam kota atau disongsong ke 
luar kota. Musyawarah akhirnya memilih pendapat yang kedua. Dengan 
demikian, perintah bermusyawarah kepada Nabi ini dapat kita baca sebagai
 perintah untuk tetap melakukan musyawarah dengan para sahabat dalam 
masalah-masalah yang memang perlu diputuskan bersama.
Mengomentari perintah musyawarah kepada Nabi dalam ayat di atas Muhammad
 Abdul Qadir Abu Faris menyatakan: “Jika Rasulullah SAW yang ma’shum dan
 mendapatkan penguat wahyu, sampai tidak pernah berbicara dengan nafsu 
telah diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah SWT agar bermusyawarah 
dengan para sahabatnya, sudah tentu, bagi para hakim dan umara, 
musyawarah sangatlah ditekankan”.
Bahkan Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan yang sangat mulia itu 
banyak melakukan musyawarah dengan para sahabat beliau seperti tatkala 
mencari posisi yang strategis dalam perang Badar, sebelum perang Uhud 
untuk menentukan apakah akan bertahan di dalam kota atau di luar kota, 
tatkala Nabi berencana untuk berdamai dengan panglima perang Ghathafan 
dalam perang Khandaq, dan kesempatan lainnya.
Memang, musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan 
yang paling baik di samping untuk memperkokoh persatuan dan rasa 
tanggung jawab bersama. ‘Ali ibn Abī Thalib menyebutkan bahwa dalam 
musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu mengambil kesimpulan yang 
benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindarkan celaan, 
menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati.
1. OPINI DAN PERMASALAHAN
Kita hidup di dunia ini tak akan pernah lepas dari kejaran 
masalah-masalah, baik itu masalah pribadi maupun masalah yang menyangkut
 kesejahteraan rakyat. Sebagai makhluk sosial, kita tak akan bisa hidup 
tanpa orang lain yang membantu kita, karena kita diciptakan oleh Allah 
SWT berpasang-pasangan dan diwajibkan untuk saling membantu serta saling
 melengkapi. Kenapa kita harus saling melengakpi dalam hidup ini? Karena
 manusia itu kan tidak ada yang sempurna, oleh karena itu kita harus 
saling melengkapi agar ketika kita ditimpa musibah, kita dapat 
menyelesaikannya bersama.
Demokrasi saat ini sudah banyak diperbincangkan bahkan diagung-agungkan 
yang katanya sebagai solusi dari suatu permasalahan. Katanya sich, 
demokrasi itu sebuah kebebasan berpendapat setiap individu. Tapi 
pendapat yang bagaimana nich…! menurut pengetahuan yang saya dapat, 
memang benar demokrasi itu sebuah kebebasan setiap individu, meskipun 
individu tersebut orang awam artinya orang tersebut tidak mengerti 
masalah yang sedang dihadapi, dan dia seakan-akan dipaksa untuk 
memberikan pendapatnya, secara otomatis pasti dia memberikan pendapat 
sesuka hatinya, meskipun pendapatnya itu bertentangan dengan agama. Kalo
 udah kayak gitu, apakah demokrasi itu sejalan dengan ajaran agama kita 
yakni agama Islam? Dan apakah demokrasi akan membawa kejayaan untuk 
Islam?
Pemungutan suara atau biasa disebut dengan voting sering digunakan oleh 
lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik dalam sebuah negara 
maupun dalam sebuah perkumpulan biasa, di dalam mengambil sebuah sikap 
atau dalam memilih seorang pimpinan dan lain-lain. Cara ini sudah 
menjadi sesuatu yang gak asing lagi di mata kita, karena semua 
permasalahan diselesaikan dengan cara mengambil suara mayoritas atau 
dengan pemungutan suara itu. Dengan pemungutan suara secara otomatis 
siapa saja / masyarakat umum bisa dilibatkan di sini. Padahal kan banyak
 diantara masyarakat itu gak tau. Dan dalam memilih seorang pemimpin 
umat pun cara itulah yang digunakan, walaupun orang itu tidak tahu apa 
dan bagaimana kriteria seorang pemimpin umat menurut konsep Islam.
Pemungutan suara atau voting boleh digunakan dalam pengambilan sebuah 
sikap atau keputusan, tapi tidak untuk menentukan pemimpin umat. Sebab, 
ini menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara yang cakupannya sangat 
luas. Kenapa saya menganggap voting itu dibolehkan dalam pengambilan 
sebuah keputusan atau sikap? Karena pada zaman Nabi Muhammad SAW banyak 
sekali bentuk praktek voting di zaman nabi Muhammad SAW, yang intinya 
memang menggunakan jumlah suara sebagai penentu dalam pengambilan 
keputusan.
Misalnya, ketika musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi perang 
Uhud. Sebagian kecil shahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di 
Madinah, namun kebanyakan shahabat, terutama yang muda-muda dan belum 
sempat ikut dalam perang Badar sebelumnya, cenderung ingin menyongsong 
lawan di medan terbuka. Maka Rasulullah SAW pun ikut pendapat mayoritas,
 meski beliau sendiri tidak termasuk yang mendukungnya.
Sebelumnya dalam perang Badar, juga Rasulullah SAW memutuskan untuk 
mengambil suara terbanyak, tentang masalah tawanan perang. Umumnya 
pendapat menginginkan tawanan perang, bukan membunuhnya. Hanya Umar bin 
Al-Khattab saja berpendapat bahwa tidak layak umat Islam minta tebusan 
tawanan, sementara perang masih berlangsung. Tetapi, kesemuanya itu 
tetap dilakukan dengan cara musyawarah terlebih dahulu, tidak seenaknya 
menentukan keputusan.
Setelah kita melihat contoh-contoh pada zaman Rasulullah SAW, 
menggunakan voting sebagai pemutusan sebuah sikap, tetapi bukan untuk 
menentukan seorang pemimpin umat. Apa yang terjadi di Negara kita? 
Negara ini menggunakan voting sebagai penentu untuk menentukan siapa 
pemimpin Negara, Daerah, dll. Jadi, voting hanya boleh dipakai untuk 
menentukan sikap atau keputusan yang tidak bersinggungan dengan syariah 
(aqidah).
Arti dari Pemungutan suara (PEMILU) itu sendiri adalah pemilihan 
pemimpin dengan cara mencatat nama yang dipilih atau dengan mencoblos 
salah satu calon yang diinginkan (disuka) atau dengan kata lain voting. 
Pemungutan suara ini, meskipun memiliki arti: pemberian hak pilih, tapi 
gak perlu digunakan dalam pemilihan pemimpin, apalagi ini dalam 
menentukan pemimpin umat yang cakupannya lebih besar, bahkan besar 
banget!!
Cara itulah yang digunakan oleh negara demokrasi seperti Indonesia. 
Dengan pemungutan suara (demokrasi) menentukan seorang pemimpin dengan 
pelaksanaannya yang dinamakan dengan PEMILU (Pemilihan Umum), seperti 
yang telah dijelaskan di atas. Dengan pemilu, seluruh rakyat memilih 
calon pemimpin negara (yang dikasih nama Presiden itu). Jadi, seluruh 
warga baik yang awam maupun yang cerdas atau yang berpendidikan, berhak 
menentukan pemimpinnya yang nantinya dia yang menjalankan roda 
pemerintahan di negara tersebut. Kekuasaan / kedaulatan itu semuanya 
berada di tangan rakyat secara mutlak.
Dengan cara dan praktek kayak gini bisa aja seorang yang gak layak 
menjadi pemimpin (Pemabuk, Koruptor, Pemerkosa, dll) keluar menjadi 
pemenangnya, terus gimana nasib negara ini kalo yang jadi pemimpin itu 
pemabuk, koruptor, pemerkosa, dll. Adapun yang pantas dan berhak menjadi
 pemimpin malah tersingkir atau malahan gak dipandang sama sekali !
Sedangkan dalam Islam metode pemungutan suara ini tidak dibenarkan 
(penentuan seorang pemimpin ummat), yang digunakan adalah metode 
musyawarah (syuro) dan mengajarkan bahwa kedaulatan itu bukan berada di 
tangan manusia, tetapi berada di tangan Allah SWT dan Rasul-Nya dan 
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT pun berfirman:
Surat Al-Ahzab: 36 yang artinya: “Dan tidaklah patut laki-laki yang 
mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan 
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
 (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah 
dan rasul-Nya maka sungguh di telah sesat, sesat yang nyata.”
Surat An-Nisaa: 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu 
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu 
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan 
adil”.
Surat An-Nisaa itu pun menjelaskan bahwa dalam menentukan pemimpin atau 
memberi amanat itu hanya kepada yang mampu menerima dan melaksanakan 
amanat tersebut, artinya dia mampu dan termasuk dalam kriteria seorang 
pemimpin yang dimaksudkan Islam tadi.
Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang sangat agung, yang menyangkut 
tentang seluk-beluk kehidupan manusia. Oleh karena itu amanat ini harus 
diserahkan kepada yang berhak menerimanya menurut pandangan syari’at. 
Proses pemungutan suara bukanlah cara yang tepat untuk penyerahan amanat
 tersebut. Karena cara itu tidak bisa menjamin kalo amanat itu 
tersampaikan kepada yang berhak.
Bahkan di lapangan pun telah terbukti kalo yang menerima amanat itu 
bukan orang-orang yang berhak menerimanya, misalnya saja seorang 
pemimpin yang selalu ragu-ragu dalam mengambil sebuah kebijakan, sebab 
di dalam Islam itu seorang pemimpin itu harus tegas dalam menentukan 
kebijakan atau keputusan-keputusan; dan bisa saja pemimpin tersebut 
adalah seorang KORUPTOR.
Pemimpin Negara (Kepala Negara), menurut Al-Baqillani, harus berilmu 
pengetahuan yang luas, karena ia memerlukan para hakim yang berlaku 
adil. Dengan ilmunya itu ia dapat mengetahui apakah putusan hakim sesuai
 dengan ketentuan hukum atau tidak dan apakah sesuai dengan asas 
keadilan. Syarat lain, kepala negara harus bertindak adil dalam segala 
urusan, berani dalam peperangan, dan bijaksana dalam mengorganisir 
militer yang bertugas melindungi rakyat dari gangguan musuh. Dan dalam 
segala tindakannya itu harus bertujuan untuk melaksanakan “Syari’at 
Islam”. Artinya dalam mengatur kepentingan umat harus sesuai dengan 
“Syari’at Islam”.
Tidak berbeda dari Al-Baqillani, Al-Baghdadi menyatakan: “Kelompok kami 
berpendirian bahwa orang yang berhak memegang jabatan khalifah (Pemimpin
 Negara) harus memiliki kualitas berikut: 1) berilmu pengetahuan, 
minimal untuk mengetahui apakah undang-undang yang dibuat para mujtahid 
sah menurut hukum agama dan peraturan-peraturan lainnya; 2) bersifat 
jujur dan saleh; 3) bertindak adil dalam menjalankan segala tugas 
pemerintahan dan berkemampuan”.
Jadi, sudah jelas dari kedua kelompok di atas tadi menjelaskan bahwa 
syarat menjadi seorang pemimpin negara itu adalah harus orang yang 
memiliki ilmu pengetahuan, minimalnya dia harus tahu apakah 
undang-undang yang dibuatnya tidak keluar dari batas-batas hukum agama 
Islam yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Kita lihat di 
Indonesia, apakah undang-undang kita masih dalam batas-batas yang telah 
dibatasi oleh pedoman agama kita yakni Al-Qur’an dan Hadits?
Menurut kaca mata saya, undang-undang yang diterapkan di negara ini 
sudah melenceng dari Al-Qur’an dan Hadits, contohnya saja penjualan 
minuman keras masih merajalela bahkan dibiarkan beroperasi. Dan yang 
lebih parah lagi, pemilihan seorang pemimpin (kepala negara) 
dilaksanakan dengan cara pemungutan suara, padahal Islam tidak 
mengajarkan seperti itu. justru islam mengajarkan bahwa dalam penentuan 
seorang pemimpin itu dilaksanakan dengan cara bermusyawarah.
Sebenarnya bukan keluar dari Al-Qur’an dan Hadits saja, demokrasi pun 
sudah tidak sesuai lagi dengan pedoman hidup negara kita yakni 
Pancasila. Seperti yang tercantum dalam sila ke 4 : “Kerakyatan yang 
dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan”. 
Disini dikatakan bahwa “kebijaksanaan dalam permusyawaratan” bukanlah 
“kebijaksanaan dalam demokrasi”. Jadi, jelas sekali ternyata demokrasi 
bukan hanya tidak sesuai dengan pedoman agama kita (Al-Qur’an dan 
Hadits), tetapi dengan Pancasila pun sudah tidak sesuai.
Sebenarnya Pancasila yang ada di negara kita ini sudah benar, sebab isi 
silanya itu merupakan isi yang sesuai dengan ajaran agama Islam, isinya 
itu tidak keluar dari pagar pembatas Al-Qur’an dan Hadits.
Kalo dalam demokrasi itu sich nash-nash syari’at dan hukum-hukum Allah 
itu gak dianggap, tapi yang dianggap dan dijadikan acuan dalam demokrasi
 ini adalah “Hukum Rakyat”. Jadi rakyat adalah sumber hukum dalam setiap
 permasalahan ummat. Oleh karena itu, orang-orang mendefinisikan 
demokrasi itu dalam undang-undang dengan sebutannya “Kedaulatan 
sepenuhnya berada di tangan Rakyat”, sehingga demokrasi bisa disebut 
dengan nama hukum mayoritas rakyat (suara terbanyak).
Di dalam Islam dalam menentukan seorang pemimpin ummat tidak menggunakan
 demokrasi (suara mayoritas), tapi Islam menyelesaikan masalah ummat 
atau bahkan menentukan pemimpin umat itu dengan cara Musyawarah (Syuro).
 Jadi setiap permasalahan yang ada, diselesaikan dengan Musyawarah.
Kan musyawarah itu didefinisikan dengan mengeluarkan pendapat setiap 
anggota musyawarah itu. Nanti dulu donk? Kita selidiki dulu, siapa yang 
berhak mengeluarkan pendapat itu? Dan anggota musyawarah itu, siapa? 
Nah, yang berada di Majelis Syuro itu adalah ahl al-hall wa al-‘aqd dan 
ahl al-ikhtiyar, yang artinya “orang yang berkompeten untuk melepas dan 
mengikat”.
Nah, sekarang udah jelas nich, siapa yang berada di Majelis Syuro itu, 
yakni orang-orang yang berkompeten di bidangnya masing-masing, seperti 
Ulama, Kepala Negara, dan para pemuka masyarakat yang berusaha 
mewujudkan kemaslahatan rakyat. Kalo gitu, Islam tidak mengenal yang 
namanya Hak Asasi Manusia (HAM) donk? Jangan salah, Islam mengenal yang 
namanya HAM, lihat salah satu anggota musyawarah di atas, ”Para Pemuka 
Masyarakat”. Nah, sebelum ada para pemuka masyarakat itu, dia meminta 
pendapat masyarakatnya terlebih dahulu, dan selanjutnya ditampung oleh 
tokoh masyarakat itu dan disampaikan di Majelis Syuro itu.
Kenapa hanya Tokoh Masyarakat saja yang dibawa ke majelis syuro? Karena 
pada dasarnya manusia itu gak semuanya berkompeten. Dan menurut teori 
Mc. Gregor, jika manusia diberi kebebasan, mereka akan melakukannya 
menurut cara mereka sendiri / sesuaka hati meskipun itu melanggar 
peraturan. Jadi, di dalam Islam yang berada di dalam majelis Syuro 
adalah para wakil rakyat.
Ada yang mengatakan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat berbeda jauh antara Musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala Demokrasi, yakni perbedaan itu diantaranya:
1. Dalam musyawarah mufakat, keputusna ditentukan oleh dalil-dalil walaupun suaranya minoritas
2. Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, 
adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja
3. Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari
 Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah 
ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena 
yangberkuasa adalah suara terbanyak, bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Mengenai masalah para wakil rakyat, Islam punya kriteria tersendiri bagi
 orang-orang yang duduk di Majelis Syuro. Ada tiga syarat, yaitu:
1. Sifat adil terhadap siapa saja dan senantiasa memelihara wibawa dan nama bik;
2. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara 
(ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan 
siapa yang paling berhak untuk diangkat menjadi Imam (Kepala Negara); 
dan
3. Wawasan luas dan kebijaksanaan sehingga mampu menilai berbagai 
alternatif serta memilih yang terbaik untuk umat sesuai dengna 
kemaslahatannya dan menjauhkan yang dapat membahayakannya.
Dan disamping hal tersebut juga perlu diperhatikan bahwa ia juga harus 
senantiasa memperhatikan tradisi yang ada di masyarakat itu sendiri. 
Jadi, para wakil rakyat harus memperhatikan tradisi atau budaya yang 
terdapat dalam masyarakat yang sedang diwakili oleh wakil rakyat itu. 
Dengan adanya ketiga syarat itu, diharapkan para wakil rakyat itu akan 
dapat mewakili kamuan dan kehendak rakyat yang diwakilinya.
Pada buku yang saya baca dengan judul “Demokrasi Sejalan dengan Islam?”,
 saya setuju dengan apa yang dikatakan di dalam buku ini, mengenai 
perbedaan demokrasi dengan syuro yang diibaratkan bagaikan langit dan 
bumi, yang perbedaannya itu, ialah:
v Syuro adalah aturan dan manhaj rabbaniy, sedangkan demokrasi adalah 
hasil karya manusia yang serba kekurangan yang selalu diombang-ambing 
oleh hawa nafsu dan emosi.
v Syuro adalah bagian dari syarai’at Allah SWT, dien-Nya dan hukum-Nya, 
sedangkan demokrasi adalah penentangan terhadap hukum Allah SWT.
v Syuro dilakukan dalam masalah yang tidak ada nash di dalamnya, adapun 
dalam masalah yang sudah ada nashya maka tidak ada syuro.
Jadi, di point ke tiga disebutkan bahwa syuro itu sendiri digunakan jika
 dalam suatu masalah itu tidak ada nash di dalamnya, baru diadakan 
syuro. Dan orang-orang yang berada di dalamnya itu pun harus orang-orang
 yang berkompeten di bidangnya. Dan jika masalah itu sudah ada nash nya,
 maka syuro itu pun tidak berlaku. Jadi, penyelesaiannya itu dengan cara
 mengikuti hukum yang udah diturunkan oleh Allah SWT yakni Al-Qur’an dan
 Hadits. Karena yang menentukan hukum itu bukanlah manusia, tetapi 
manusia lah yang wajib mentaati aturan yang diturunkan oleh Allah SWT, 
Rasul-Nya dan kemudian kepada pemimpin kaum muslimin.
2. HASIL DISKUSI
Pendapat orang itu berbeda-beda, jadi kalo ada yang berbeda pendapat 
jangan marah ya? Setelah saya berdiskusi dengan keluarga, saudara serta 
teman-teman saya, banyak yang didapat dari diskusi tersebut. 
Pertama-tama saya bertanya terlebih dahulu, “Apakah demokrasi itu 
menurut mereka?
Dan apakah musyawarah menurut mereka (Islam)? Kenapa saya bertanya 
seperti itu? Untuk pertanyaan yang pertama, karena sebelum berdiskusi 
terlalu jauh, kita harus sepakat dulu, satukan pikiran, apakah demokrasi
 itu? Sebab yang sedang kita bahas adalah demokrasi, dan apakah 
musyawarah itu? kenapa saya bertanya musyawarah? Karena di dalam Islam 
yang dipakai bukan demokrasi (menurut saya), tetapi Musyawarah?
Jadi, saya pun harus bertanya tentang musyawarah itu, agar kita semua 
tahu apa musyawarah itu, apa bedanya dengan demokrasi? Apakah berbeda, 
ataukah sama dengan demokrasi? Jika yang saya tanya itu tidak tahu atau 
pun tidak sepaham dengan saya, saya mencoba untuk meluruskannya.
Pertama, lawan diskusi saya menjawab, bahwa demokrasi adalah kebebasan 
berpendapat yang dikenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat 
dan untuk rakyat. Dan demokrasi yang diterapkan di Indonesia itu adalah 
“Demokrasi Pancasila”. Lalu, definisi musyawarah pun dijawab, bahwa 
musyawarah katanya sama dengan demokrasi, kedua-duanya sama-sama 
mengeluarkan pendapat.
Jadi, menurut mereka musyawarah dan demokrasi itu gak ada bedanya. 
Kemudian saya pun sepakat dengan jawaban dia yang pertama, mengenai 
demokrasi itu, tetapi saya terus menambahkan jawaban dia tentang 
kebebasan berpendapat tadi, bahwa demokrasi merupakan kebebasan 
berpendapat yang dimiliki oleh setiap “Individu”, itu menurut pengamatan
 saya berdasarkan apa yang telah terjadi di negeri ini.
Nah, individu disini berarti kan setiap manusia memiliki hak untuk 
mengeluarkan pendapatnya, walaupun pendapatnya itu keluar dari batasan. 
Yang namanya manusia itu kan tidak semuanya pintar, paham, serta 
berwawasan luas. Manusia itu ada yang pintar dan ada pula yang bodoh, 
ada yang baik dan ada pula yang jahat. Nah, bagaimana dengan orang jahat
 itu, apakah dia akan mengeluarkan pendapat yang benar?
Nah, tentang demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia itu, kata dia 
adalah “Demokrasi Pancasila”, tetapi menurut saya demorkasi itu sendiri 
sudah bertentangan dengan Pancasila, yakni pada sila ke 4, yang mana 
isinya “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam 
permusyawaratan, perwakilan” kita lihat, disitu dibilang bahwa 
‘permusyawaratan’ bukan ‘dalam Demokrasi, Perwakilan’.
Lalu, dia pun ‘diam’. Dan saya juga gak sepakat dengan jawaban mereka 
yang kedua tentang musyawarah? Lalu, saya pun menjawab tentang 
musyawarah tadi, bahwa musyawarah memang betul bebas mengeluarkan 
pendapat, tetapi bebas disini tidak sebebas yang mereka kira, menurut 
ajaran islam kebebasan berpendapat dalam bermusyawarah itu memiliki 
batas-batas tertentu yaitu dengan tidak keluar dari syari’ah yakni 
Al-Qur’an dan Hadits.
Lalu, saya bertanya : “Jika demokrasi itu sejalan dengan Islam, 
bagaimana dengan pemilu? Pemilu itu kan pemilihan umum yang dilaksanakan
 untuk memilih seorang pemimpin negara dan ummat, dan yang ada dalam 
pemilu itu kan cara pemilihannya dengan cara voting, artinya dengan 
penentuan suara terbanyak / suara mayoritas?” Dia pun menjawab: “Memang 
menurut saya voting itu memang tidak sesuai dengan islam, karena itu 
seperti kita bermain judi / gambling, artinya dalam pemilihan seorang 
“Kepala Negara” itu ditentukan dengan cara perjudian (untung-untungan)”.
Menurut dia, demorkasi yang diterapkan di Indonesia sudah mengacu kepada
 demokrasi liberal, yang mana demokrasi liberal itu sistem yang 
diterapkan oleh negara Amerika. Amerika menerapkan demokrasi liberal, 
yang mana disana kebebasan berpendapat atau mengeluarkan aspirasi atau 
apapun itu, dibebaskan disana sebebas-bebasnya.
Ah, ternyata dia gak setuju juga dengan yang namanya voting, dimana 
voting ini sudah diterapkan di Indonesia sebagai cara pemilihan seorang 
pemimpin. Kan saya bilang pada dia, bahwa pemilihan seorang pemimpin, 
apalagi pemimpin ummat di dalam islam itu menggunakan sistem musyawarah 
(syuro), dimana orang-orang yang ada di dalam majelis syuro itu bukan 
orang sembarangan, yakni mereka adalah orang-orang yang memiliki potensi
 di bidangnya masing-masing, seperti ulama, kepala negara, tokoh 
masyarakat, dimana mereka yang mewakili dan dipercayai oleh masyarakat 
untuk mewakilinya.
Mereka mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan diseleksi apakah 
pendapatnya itu benar ataukah keluar dari Al-Qur’an dan Hadits. Nah, 
lalu saya bilang lagi pada dia, bahwa yang diterapkan di Indonesia itu 
bukannya mengeluarkan pendapat untuk memilih seorang presiden, tetapi 
hanya mencoblos poster atau nama presiden yang dia sukai, yang mana di 
suka itulah yang dipilih, apakah pilihannya itu benar atau tidak, itu 
lain urusan? Terus, dia menjawab: “Jika seluruh rakyat Indonesia disuruh
 untuk mengeluarkan pendapatnya di gedung rakyat, apa yang terjadi? Dan 
kalau gitu Islam tidak memberi kebebasan kepada rakyat untuk memberikan 
pendapatnya donk?” Katanya.
Nah, saya pun menjawab: “Tenang ‘cuy’, kita lihat yang pernah diterpakan
 oleh presiden Soeharto, waktu zaman dia, pemilu itu tetap dilaksanakan 
dan rakyat pun tetap mengeluarkan hak pilihnya. Tetapi, bedanya hasil 
pilihan rakyat di setiap daerah itu, pertama ditampung terlebih dahulu 
oleh wakil rakyat dan kemudia dimusyawarahkan kembali di gedung rakyat, 
kurang lebih seperti itu lah?
Nah, di dalam Islam pun kurang lebih kayak gitu, pertama pilihan 
masyarakat ditampung kepada tokoh masyarakat atau pun wakil rakyat tadi,
 kemudian dimusyawarahkan dengan tokoh-tokoh yang lainnya yang tergabung
 dalam majelis syuro itu, jadi, gak sembarang orang yang terdapat dalam 
majelis syuro itu” menurut saya. Menurut saya antara pemerintahan yang 
dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan pemerintahan 
Presiden Soeharto, lebih bagus Soeharto, itu saya lihat dari sistem 
pemilihan umumnya, yang tidak sepenuhnya diserahkan kepada rakyat, 
tetapi tetap ada proses pengolahan di gedung rakyat itu.
Setelah itu, saya pun bertanya kembali kepadanya. “Bagaimana? Apakah 
demorkasi itu masih sesuai atau sejalan dengan Islam?” Tetapi, dia 
menjawab: “Aah…. saya tetap dalam pendirian saya, bahwa demokrasi itu 
memang sejalan dengan Islam.” Dia tetap ‘kekeh’, ya udah lah, saya gak 
memaksa dia (saudara), keluarga dan teman saya tadi. Saya tetap 
menghargai pendapat mereka, kan namanya juga manusia, memiliki pemikiran
 yang berbeda-beda.
3. KESIMPULAN
Yang namanya negara itu pasti memerlukan seorang pemimpin, karena tanpa 
adanya seorang pemimpin, maka akan dibawa kemana negara ini. Setiap 
pemimpin negara itu pasti memiliki tujuan masing-masing, dimana tujuan 
itu tidak lain yaitu ingin mencapai sebuah kesejahteraan untuk 
rakyatnya. Apakah dengan demokrasi, tujuan negara ini akan terwujud? Dan
 apakah dengan sembarang pilih pemimpin, tujuan negara akan terwujud?
Untuk menentukan seorang pemimpin terutama pemimpin ummat dan negara itu
 jangan sembarangan untuk memilihnya, karena jika kita salah pilih, maka
 akibatnya akan fatal yang akan berdampak kepada rakyat dan negara itu 
sendiri. Apakah kita mau dijajah kembali, oleh ‘Belanda’ misalnya?. 
Tentu tidak, kan? Oleh karena itu mari kita mulai perubahan ini dimulai 
dari diri kita sendiri, karena hanya kita yang dapat membuat sebuah 
perubahan itu untuk negara ini.
Mungkin kita pun bingung, bagaimana cara merubahnya? Jika saya harus 
merubah sistem demokrasi, itu sangat tidak mungkin, karena apa? Karena 
saya hanyalah seorang Mahasiswa yang tidak mampu untuk melakukan itu, 
saya tidak punya wewenang dan saya tidak punya kemampuan untuk 
melakukannya, saya hanya Mahasiswa ‘ecek-ecek’, hehe…..hehe…
Setiap ideologi yang ada di setiap negara itu pasti memiliki tujuan yang
 baik, tetapi tak dapat dipungkiri juga, bahwa kemampuan manusia itu 
sangat terbatas. Terus, apa sebenarnya yang harus kita rubah? Orangnya 
kah? Atau sistemnya yang kita rubah?, yang sudah saya bilang tadi, bahwa
 sistem itu tidak mungkin saya rubah. Menurut saya, mungkin dari 
orangnya tadi yang perlu kita rubah.
Mulai dari yang pertama, jika dalam PEMILU 2009 nanti, jangan sampai 
kita terpengaruh oleh bujukan-bujukan setan yang hanya memberikan 
kenikmatan sesaat, misalnya jangan sampai kita mudah untuk disogok oleh 
para oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, sebab itu akan berakibat 
kepada negara dan kita sebagai rakyatnya nanti.
Kita harus berfikir ke depan, jangan hanya berfikir konsumtif yang hanya
 memikirkan kejadian pada saat itu juga, tetapi kita harus berfikir 
panjang. Bagaimana negara ini akan berubah, jika kita hanya mampu 
menerima ‘Uang Suap’ yang memberi kenikmatan sesaat kepada kita. Mari 
kita berfikir panjang!!
Nah yang kedua, kita dalam memilih seorang ‘pemimpin rakyat’, kita harus
 mampu mengenal calon pemimpin kita terlebih dahulu. Jangan memilih 
presiden secara ‘subjektif’, artinya kita memilih, jangan karena calon 
presiden itu sodara kita atau mungkin calon presiden itu ‘ganteng’. Mari
 kita pilih pemimpin kita berdasarkan apa yang dimiliki oleh calon 
tersebut. Artinya, apakah orang tersebut mampu memimpin negara dan 
rakyatnya kelak?
Kita pilih berdasarkan kriteria seorang pemimpin yang telah diberikan 
oleh Islam, yakni apa yang telah dipaparkan oleh Al-Baghdadi, yang 
menyatakan: “Kelompok kami berpendirian bahwa orang yang berhak memegang
 jabatan khalifah (Pemimpin Negara) harus memiliki kualitas berikut: 1) 
berilmu pengetahuan, minimal untuk mengetahui apakah undang-undang yang 
dibuat para mujtahid sah menurut hukum agama dan peraturan-peraturan 
lainnya; 2) bersifat jujur dan saleh; 3) bertindak adil dalam 
menjalankan segala tugas pemerintahan dan berkemampuan”.
Walaupun begitu tetaplah syari’at islam yang nomor 1 (satu), hanya 
dengan syariat Islam, negara ini akan merasakan kesejahteraan. Setelah 
saya berkicau kesana-kemari, walaupun dari tadi gak ada yang mau ngalah,
 semuanya tetap pada pendiriannya masing-masing dan saya juga tetap pada
 pendirian saya. Nah, akhirnya saya memberi kesimpulan bahwasanya 
“Demokrasi itu tidak sejalan dengan Islam” yang mana di dalam islam itu 
tidak ada demokrasi, tetapi yang ada hanyalah musyawarah (syuro), untuk 
menentukan seorang pemimpin ummat khususnya.
Mari kita bersama-sama untuk menerapkan kembali musyawarah yang 
sebenarnya sudah menjadi pedoman hidup kita yakni yang terdapat dalam 
Pancasila, sila ke 4. Hanya dengan bermusyawarah, kita akan mendapatkan 
sebuah jawaban yang mendekati kebenaran bahkan kebenaran, karena kita 
bermusyawarah tidak hanya mengeluarkan pendapat sesuka kita, tetapi 
musyawarah dalam Islam itu adalah berpendapat yang tidak keluar dari 
Al-Qur’an dan Hadits.
Yang mana Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah melalui
 Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, yang isinya sudah tidak 
diragukan lagi dan isinya pun mencakup segala seluk beluk kehidupan yang
 terdapat di dunia dan di akhirat. Dan Hadits yakni ucapan-ucapan Nabi 
Muhammad SAW pada saat Baginda kita masih hidup di dunia ini.
Ingat kawan!! Ideologi Islam adalah yang terbaik daripada 
ideologi-ideologi yang terdapat di dunia ini, karena ideologi Islam 
bukan manusia yang sengaja membuatnya, tetapi Allah SWT yang 
menurunkannya dan diamanhkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk 
meng-syiarkannya ke seluruh penjuru dunia. Jadi, jangan sekali-kali 
menyamakan demokrasi dengan musyawarah (syuro) yang terdapat dalam 
Islam. Keduanya itu memiliki perbedaan yang sangat jauh… sekali. 
Bagaikan langit dan bumi.
Mau tau Lebih banyak Artikel? Klik
 [Add Me!]